NTB Ajukan 1.000 Lahan Transmigran Miliki Sertifikat Hak Milik
Keterangan Foto: Ilustrasi lahan transmigrasi. |
iteNTB - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat mengajukan sebanyak 1.000 hektar bidang lahan untuk memiliki sertifikat hak milik bagi para transmigran di wilayah itu pada tahun 2023.
Direktur Pengembangan Satuan Pemukiman dan Pusat Satuan Kawasan Pengembangan Kemendesa RI, Rosyid mengatakan 1.000 bidang lahan ini tersebar di Sori Panihi SP. 5 di Kabupaten Bima sebanyak 600 bidang dan Kabupaten Lombok Timur di Jeringo sebanyak 400 bidang.
"Menerima sertifikat hak milik (SHM) merupakan hak normatif dari para transmigran. Karena itu, selama para transmigran ini belum menerima haknya, maka menjadi kewajiban pemerintah untuk mengawal sampai mereka menerima sertifikatnya," ujarnya dalam keterangan tertulis diterima wartawan di Mataram, Sabtu.
Ia program transmigrasi di NTB memberikan manfaat yang luar biasa bagi masyarakat dalam mengubah taraf hidup menjadi lebih baik. Program transmigrasi di NTB pertama kali dilakukan tahun 1980, penempatan di Kabupaten Dompu bagi warga transmigran dari Lombok.
Program ini telah berhasil mengatasi masalah penduduk miskin sebanyak 10.776 KK. Namun disamping keberhasilan tersebut, masih ditemukan adanya sedikit persoalan lahan yang hingga kini belum clear and clean.
Total Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di NTB seluas 23,027 hektar lebih di antaranya untuk Kabupaten Sumbawa 17,358 hektar lebih. Kabupaten Dompu 2,222 hektar lebih. Kabupaten Bima 3,155 hektar lebih.
Selanjutnya Kabupaten Lombok Timur 117,32 hektar dan Lombok Tengah 174,12 hektar. Adapun progres penerbitan SHM di NTB tahun 2015-2021 dari 6.782 bidang, 1.689 bidang sudah terbit SHM dan 5.093 belum terbit yang tersebar di enam kabupaten atau 15 lokasi.
Sementara target usulan penerbitan SHM NTB tahun 2022 sebanyak 2.225 bidang yang ada di lima kabupaten, yakni Sumbawa di Brang Lamar (Lunyuk) 200 bidang, Bima di Sori Panihi SP.3 sebanyak 500 bidang, Sori Panihi SP. 4 sebanyak 159 bidang, Sori Panihi SP. 1 sebanyak 200 bidang, Sori Panihi SP. 2 sebanyak 696.
Kemudian Kabupaten Dompu di Taropo sebanyak 14 bidang, Sumbawa Barat di Tongo SP. 2 sebanyak 16 bidang, dan Lombok Tengah di Mekarsari sebanyak 240 bidang dan di Batu Jangkih sebanyak 200 bidang.
"Sinkronisasi dan validasi data penting dilakukan agar beban-beban penerbitan SHM yang ada di 19 provinsi bisa selesai sesuai dengan target waktu yang telah ditentukan dan berharap tahun 2024 sudah selesai," terangnya.
Berdasarkan rekapitulasi permasalahan pertanahan di NTB, terjadi di sejumlah tempat seperti di Kabupaten Bima ada di empat lokasi dengan bentuk permasalahan, yakni tumpang tindih dengan perusahaan dan tumpang tindih kawasan hutan.
Kabupaten Sumbawa ada di tiga lokasi dengan bentuk permasalahan adalah tidak ada lahan, tumpang tindih kawasan hutan dan lain-lain. Sumbawa Barat ada di satu lokasi dengan permasalahan lain-lain. Lombok Tengah ada di satu lokasi dengan permasalahan adalah sengketa dengan masyarakat setempat. Dompu ada di satu lokasi dengan permasalahan adalah tumpang tindih perusahaan.
Dari permasalahan tersebut, perlu diklasifikasikan mana permasalahan yang termasuk kasus berat, sedang dan ringan. Untuk menyelesaikan permasalahan tanah transmigrasi, maka perlu memenuhi persyaratan, seperti kelengkapan dokumen, lahan transmigrasi, SHM, peta, penganggaran kegiatan, upaya penanganan, dan komitmen Pemda.
"Perlu kerja keras dari teman-teman pemerintahan di jajaran pusat hingga seluruh pemerintah yang bertanggung jawab di teknis lapangan. Seluruh sektor harus ikut berkoordinasi dan berkolaborasi. Harus ada konfirmasi data di masing-masing Kabupaten untuk mengklarifikasi bagian mana yang sudah selesai dan belum," katanya.
Kadisnakertrans NTB, I Gede Putu Aryadi, mengungkapkan bahwa kawasan transmigrasi NTB yang paling banyak belum mendapatkan SHM ada di Bima. Karena itu, penting untuk melakukan identifikasi masalah.
Karena menurutnya selain ada tumpang tindih lahan dan lahan yang masuk kawasan hutan, ada juga permasalahan yang bersumber dari warga transmigran sehingga statusnya sebagai transmigran dibatalkan seperti memindahtangankan lahannya, meninggalkan lahannya, tidak mengelola aset produksi bantuan pemerintah, melalaikan kewajiban sebagai transmigran, dan menelantarkan tempat tinggal atau fasilitas yang telah diberikan.
Selain itu, ada juga masalah lain yang terjadi di hulu pada saat pendataan. Dari data, ada tanah yang seharusnya diberikan ke warga transmigran tapi faktanya tanah tersebut ternyata sudah dikuasai pihak lain. Seharusnya permasalahan tidak diselesaikan di ujung saja, tapi juga harus dari hulu. Masalahnya, permasalahan ini banyak yang sudah lama terjadi, sehingga banyak data yang tidak lengkap.
"Koordinasi antar lintas sektor harus dibangun dengan prinsip menyelesaikan dengan cara terbaik, bermusyawarah, dan mengutamakan fakta real di lapangan," katanya.
Menurut Aryadi, banyak data yang ditemukan tidak valid di lapangan tapi di laporan dikatakan valid. Karena itu, fakta di lapangan harus dicari. Koordinasi dan kolaborasi antara pihak terkait harus segera dibangun untuk memperoleh data yang lengkap terkait permasalahan yang dihadapi di lapangan. Begitu ada informasi yang berkembang harus sigap mencari kebenarannya seperti apa, pembiaran informasi yang beredar akan dianggap suatu kebenaran oleh masyarakat.
Pemerintah memiliki instrumen untuk menyelesaikan permasalahan lahan ini. Instrumen tersebut harus didukung data yang valid. Jumlah lahan di NTB yang belum terbit SHM sebanyak 4.733 bidang dengan rincian Lombok Tengah sebanyak 440 bidang, Lombok Timur 400 bidang, Sumbawa 683 bidang dan Bima 3.210 bidang.
"Kami berharap instansi yang menangani permasalahan kawasan transmigrasi ini betul-betul melakukan identifikasi permasalahan. Kita harus turun bersama. Jangan sampai di BPN, kehutanan dan transmigrasi memiliki data yang berbeda-beda. Sehingga target penerbitan SHM tahun 2022 ini bisa tercapai," tandas Gede Aryadi.
Posting Komentar